Lilik Prasaja
Hubungan Internasional
Universitas Gadjah Mada
Poin penting dari pelanggaran NATO dalam Perang Kosovo adalah intervensi berlebihan dan jatuhnya banyak korban sipil. Dalam konflik yang terjadi, pembicaraan mengenai intervensi memuncak ketika terjadi pembantaian (pembantaian Racak) oleh tentara Serbia terhadap warga sipil Albania. Pihak Barat serta Dewan Keamanan PBB kemudian mengutuk peristiwa tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Peristiwa inilah menjadi faktor pemicu NATO melakukan intervensinya di Kosovo. Meski kemudian diketahui bahwa kekerasan yang terjadi disebabkan oleh kelompok pemberontak yaitu Kosovo Liberalization Army (KLA).
NATO secara jus ad bellum melanggar peraturan tentang intervensi militer yang ditetapkan oleh PBB. Kenyataan bahwa banyak negara anggota yang menolak intervensi di Kosovo, terutama veto Rusia di DK PBB membuat keputusan intervensi NATO ini tidak didukung resolusi DK PBB. Di sini sangat jelas terlihat sisa-sisa kepentingan Perang Dingin antara Barat (NATO) dan Timur (Rusia dan negara di sekitarnya). Rusia sebagai salah satu sekutu Serbia, dalam artian pendukung pemerintahan Milosevic. Para penentang perang juga melihat konflik di Kosovo adalah masalah domestik Serbia. Di mana menurut perjanjian sebelumnya Kosovo memang masuk dalam peta Serbia. Jadi para penolak juga menyampaikan alasan berupa konflik tersebut adalah masalah domestik Serbia melawan pemberontak (KLA) dan tidak seharusnya ada intervensi tanpa permintaan dari Serbia.
Poin pelanggaran yang mencengangkan ternyata bukan terletak pada alasan perang yang dilakukan NATO di Kosovo. Tetapi lebih pada praktik intervensi (dalam jus in bello) yang banyak dikritik karena menimbulkan banyak korban jiwa (terutama sipil). Faktor utamanya adalah pada penggunaan senjata yang “tidak manusiawi” sekaligus tidak ramah lingkungan. Senjata yang dimaksud di antaranya adalah Depleted Uranium (DU-bom uranium yang dilemahkan) dan Cluster Munition (CM-bom curah). Salah satu alasan NATO menggunakan senjata-senjata tersebut adalah ujicoba dalam peperangan asli. Selama perang dingin, berbagai senjata mutakhir diriset oleh AS dan sekutunya. NATO ingin menunjukkan eksistensi, kemajuan dan pengaruhnya melalui intervensi dalam konflik Kosovo.
Kedua jenis senjata tersebut mempunyai daya rusak yang berlebihan, DU radiasinya yang berlebihan, sedangkan CM dapat mengenai sembarang target. Terlebih lagi, keduanya mempunyai dampak jangka panjang yang sangat merugikan bagi penduduk di bekas wilayah konflik. DU mempunyai residu radiasi yang berbahaya, sedangkan CM banyak yang gagal meledak sehingga berbahaya bagi warga sipil yang menemukan. Atas alasan tersebut, keduanya dapat dikategorikan sebagai bentuk penyerangan yang berlebihan atau melanggar prinsip proporsionalitas.
Banyak pihak berpendapat bahwa intervensi NATO dalam Perang Kosovo malahan merubah krisis kemanusiaan menjadi bencana kemanusiaan. Pengeboman NATO selama 11 minggu telah menewaskan antara 500-1.800 penduduk sipil, menghajar tidak hanya target-target militer namun infrastruktur Yugoslavia secara keseluruhan.1 Dari bukti di lapangan dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan NATO sudah melebihi batas kewajaran. Sehingga sudah sepantasnya bila kemudian dilakukan investigasi seksama dan adanya sanksi yang dijatuhkan kepada negara-negara NATO yang terlibat. Hal yang patut disayangkan adalah keluarnya tim monitoring OSCE (Organization of Security and Cooperation in Europe) saat serangan berlangsung. Mereka seharusnya dapat melihat secara langsung dampak penyerangan NATO yang sangat berbahaya dan menjadi dasar kritik yang kuat kepada NATO.
Faktor proporsionalitas berdampak langsung pada pelanggaran terhadap hak-hak sipil. Kehancuran tanah air Kosovo membuat jutaan warganya mengungsi keluar. Tindakan “serampangan” NATO ini menuai kecaman dari komunitas internasional. Kecaman terutama datang dari para pegiat HAM dan negara-negara mantan blok Timur. Intervensi “kemanusiaan” NATO di Kosovo menambah panjang daftar konflik yang mereka ikuti dan pengaruhi pascaperang Dingin. NATO cenderung terlihat untuk memperlihatkan kekuatan dan memperluas pengaruh dengan tindakannya di Kosovo.
NATO seolah memaksakan sebuah intervensi untuk memenuhi kepentingan politik mereka di kawasan Balkan. Daerah tersebut memang cukup strategis terutama berkaitan dengan laut Kaspia yang menjadi jalur penting distribusi minyak dari Eropa Timur dan sekitarnya menuju jalur perdagangan internasional.2 Kepentingan ekonomi atas minyak dari Laut Kaspia kemudian diterjemahkan melalui serangkaian serangan terhadap berbagai target yang mengakibatkan kerusakan massal. Inilah yang dipersoalkan oleh banyak pihak. AS paling bertanggungjawab dalam tragedi ini. Karena AS yang memegang peranan penting dan melakukan skenario serangan besar di luar rencana yang disepakati negara-negara anggota NATO lain.3
Benang merah yang dapat diambil adalah bahwa NATO telah melakukan pelanggaran serius dalam intervensi di Kosovo. NATO mencederai prinsip protecting non-combatant dan proportionality dalam melaksanakan tindakannya di Kosovo. Serangan NATO telah memperparah skala kehancuran dari konflik yang semula terjadi menjadi bencana humaniter yang mencoreng reputasi mereka sendiri. Tapi siapa yang bisa menjatuhkan NATO? Siapa yang bisa melawan AS (waktu itu)? Rusia dan beberapa anggota DK PBB memang menjatuhkan Veto, namun apakah NATO berhenti? Tidak. AS dan pasukan aliansi NATO bahkan terus melakukan intervensi dan perang di berbagai belahan dunia.
No comments:
Post a Comment