M Reza Zafiruddin S. 08/265267/SP/22667
Muhamad Rizki Akbar 09/282584/SP/23517
Nadya Primahafni A 09/280412/SP/23198
Lilik Prasaja 09/288727/SP/23761
Cut Intan Auliannisa 09/282341/SP/23434
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aljazair merdeka pada tahun 1962 setelah mengalami 130 tahun masa penjajahan dari Perancis. Kemerdekaan Aljazair sangat dipengaruhi oleh tentara yang menamakan dirinya FLN. Sejak saat itu, FLN berhasil menjadi kekuatan politik terbesar di Aljazair dan berubah menjadi partai tunggal yang berkuasa di Aljazair selama 30 tahun.
Krisis ekonomi pada tahun 1987 membuat Presiden Chadli Benjedid, dibawah tekanan masyarakat Aljazair, membubarkan sistem partai tunggal dibawah FLN dan memberlakukan pemilu multi partai pertama di Aljazair yang dilaksanakan pada tahun 1991. Pemilu ini dimenangkan oleh FIS yang merupakan partai islam radikal1.
Konflik domestik di Aljazair dimulai pada tahun 1992 disebabkan oleh pembatalan hasil pemilu secara sepihak oleh pemerintah Aljazair/FLN. Kemenangan kelompok radikal di dalam pemilu menimbulkan kekhawatiran dari pemerintah Aljazair dan negara-negara barat, terutama Perancis dan Amerika Serikat. Kekhawatiran ini berujung kepada pembatalan hasil pemilu di Aljazair oleh pihak militer dimotori oleh FLN yang mengkudeta pemerintahan Chadli Bendjedid untuk mencegah FIS menduduki posisi pemerintahan. Pihak militer menempatkan Mohammed Boudiaf sebagai presiden baru Aljazair.
Pembatalan pemilu secara sepihak ini menyulut kemarahan besar dari kelompok islam radikal yang akhirnya menyatakan perang terbuka ke pemerintah. Sejak saat itu, pada tahun 1992, Aljazair memasuki masa perang sipil yang berlangsung selama satu dekade. Perang ini baru berakhir pada tahun 2002 setelah pemberontak akhirnya menyerah kepada pemerintah. Perang ini diperkirakan memakan korban hingga dua ratus ribu jiwa baik dari pihak militer maupun masyarakat sipil2.
Pembatalan hasil pemilu 1991 merupakan sebuah gambaran peristiwa politik yang kompleks dan memiliki implikasi yang sangat besar di masa depan. Peristiwa ini menunjukkan adanya kesulitan dalam usaha demokratisasi di negara berkembang, terutama di kawasan Timur Tengah. Selain itu, peristiwa ini juga memberikan studi kasus yang sempurna untuk memahami pengaruh agama dan negara asing di dalam proses politik dan pembentukan konflik domestik di negara-negara Timur Tengah.
Rumusan Masalah
Mengapa militer dibawah FLN membatalkan hasil pemilu 1991 dan mengapa hal tersebut menyebabkan konflik bersenjata di Aljazair?
Hipotesa
Pembatalan hasil pemilu tahun 1991 disebabkan oleh keterlibatan negara barat yang memiliki kepentingan di Timur Tengah, seperti Amerika Serikat dan Prancis. Kedua negara ini memberikan pengaruh ke dalam politik Aljazair sehingga memunculkan keputusan tersebut. Selain itu, dari perspektif dalam negeri, beberapa pihak yang berada di lingkaran kekuasaan Aljazair tidak bisa menerima kemenangan karena dianggap akan menghalangi kepentingan mereka di Aljazair.
BAB II
ISI
A. Faktor Pemicu Peristiwa Pembatalan Hasil Pemilu 1991
Kami melihat ada 2 faktor utama yang mempengaruhi keputusan pihak militer Aljazair dibawah FLN untuk membatalkan hasil pemilu 1991. Pertama adalah adanya persaingan politik di dalam pemilu 1991 Aljazair antara FIS, FLN, dan kelompok pro demokrasi. Kedua adalah adanya pengaruh Amerika Serikat dan Perancis di dalam pemilu 1991 Aljazair.
Faktor Internal: Persaingan politik antara FLN, FIS, dan kelompok pro demokrasi di dalam pemilu 1991
Kelompok kami membagi penjelasan bagaimana persaingan politik antara FLN, FIS, dan kelompok pro demokrasi berimplikasi terhadap pembatalan hasil pemilu 1991 menjadi 3 bagian. Pertama adalah konteks historis dari kemunculan ketiga kelompok diatas, kedua adalah peran hasil pemilu 1991 terhadap pembentukan persaingan politik diantara mereka, dan ketiga adalah bagaimana persaingan tersebut menyebabkan pembatalan hasil pemilu.
Konteks historis kemunculan FLN, FIS, dan kelompok pro demokrasi Aljazair
FLN pada awal pembentukannya bukanlah sebuah organisasi yang bergerak di bidang politik, melainkan sebuah gerakan militer untuk melawan Perancis guna meraih kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Perancis, kondisi sosial kemasyarakatan Aljazair diwarnai dengan perpecahan dan krisis indentitas. Menurut laporan Alexis de Tocqueville pada tahun 1841, masyarakat Aljazair memiliki rasa nasionalisme yang rendah. Masyarakat mereka terdiri dari suku-suku dan klan-klan kecil yang memiliki kepentingan yang berbeda. Untuk melanggengkan kolonialisasinya, Perancis mengembangkan paham materialisme dan rationalisme diantara masyarakat Aljazair. Paham ini dimaksudkan untuk memecah masyarakat Aljazair untuk berfokus kepada kepentingan kelompok dan saling bersaing satu sama lain. Kebijakan ini efektif untuk mencegah munculnya elit-elit politik modern baik dari kelas menengah, terpelajar, maupun pemimpin suku yang dapat memulai pergerakan nasional.
Akibatnya pergerakan kemerdekaan Aljazair baru bisa dimulai setelah munculnya gerakan radikal yang bersifat militeristik melalui jalan kekerasan. Berdirinya kelompok militer yang menamai diri mereka FLN adalah awal dari kemunculan gerakan tersebut. Ketika FLN berhasil mendapatkan kemerdekaan dari Aljazair, kondisi sosial masyarakat Aljazair tidak mengalami perubahan dari masa-masa kolonialisasi Perancis.
Hal ini menyebabkan FLN memiliki insentif yang kuat untuk memberlakukan kultur politik yang otoriter dengan memanfaatkan kekuatan militer. FLN akhirnya menjelma menjadi partai tunggal yang bersifat sosialis dan menjadi satu-satunya pilar politik utama dalam pemerintahan Aljazair. Pemerintah baru dibawah FLN mengedepankan sistem ekonomi terencana dimana semua faktor ekonomi dikuasai negara. Pemerintah mengandalkan pendapatan dari ekspor minyak dan gas untuk mendukung perekonomian Aljazair.
Sistem pemerintahan dan perekonomian terpusat yang berjalan sejak tahun 1962 berjalan dengan baik sampai tahun 1987. Pada tahun 1986, harga minyak dunia anjlok di pasar dari 40 dollar per barel menjadi 10 dollar per barel. Kejadian ini memukul perekonomian Aljazair yang sangat bergantung kepada ekspor minyak dan gas. Nilai ekspor Aljazair menurun hingga 55 persen hanya dalam satu tahun. Dari tahun 1986 hingga tahun 1992 pertumbuhan ekonomi Aljazair terus berada di sisi negatif. Kondisi ini mengakibatkan krisis sosial di Aljazair, termasuk pengangguran, inflasi, dan kekurangan barang konsumsi. Pemerintahan FLN juga dituding menjadi sumber dari krisis tersebut karena dianggap menjalankan pemerintahan dengan tidak efisien dan korup3.
Keadaan sosial dan ekonomi yang buruk menjadi pemicu munculnya kelompok pro demokrasi dan anti pemerintahan FLN di Aljazair. Kelompok ini didominasi generasi muda Aljazair, terutama mahasiswa, yang membentuk elit-elit politik dan menjalankan gerakan protes kepada pemerintah di berbagai tempat. Pada bulan Oktober 1988, demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan nama peristiwa Black October terjadi di berbagai tempat untuk memprotes pemerintahan Bendjedid. Pemerintah merespon gerakan protes akbar ini dengan tentara, dan diperkirakan demonstrasi ini menewaskan lebih dari 500 orang.
Presiden Chadli Bendjedid pada tahun 1989 merespon gelombang protes masyarakat dengan mengadopsi nilai-nilai pro demokrasi dan menjanjikan perubahan untuk masyarakat Aljazair. Presiden Bendjedid melakukan amandemen terhadap konstitusi Aljazair yang di dalamnya memuat 2 hal penting. Pertama adalah pembubaran parlemen yang dikuasai partai FLN dan kedua adalah pemberlakuan sistem multi partai di Aljazair. Presiden Bendjedid juga merencanakan penyelenggaraan rangkaian pemilu daerah, nasional, dan presidensial yang direncanakan dimulai pada tahun 1990.
Semenjak sistem multi partai diberlakukan, berbagai partai politik muncul di Aljazair, termasuk di dalamnya FIS. Ketika Aljazair sedang dilanda protes dan kerusuhan dimana-mana, kelompok islam radikal mendapatkan kesempatan untuk berkembang di masyarakat. Dan ketika presiden Bendjedid memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membentuk partai politik, kelompok-kelompok islam radikal ini bergabung membentuk partai FIS.
FIS tumbuh menjadi partai terkuat dengan massa pendukung yang besar, terutama dari kalangan muslim yang terkonsentrasi di kota-kota besar. Partai ini mendapatkan dukungan besar karena mayoritas masyarakat Aljazair adalah muslim dan FIS merupakan satu-satunya partai yang memasukkan nilai-nilai islam kedalam ideologi politiknya.
Pemilu 1991 dan munculnya persaingan politik antara FIS, FLN, dan kelompok pro demokrasi
Pada pemilu lokal 12 Juni 1990 FIS memenangkan pemilu daerah dengan mengantongi 54,3% suara. Hasil ini jauh lebih besar dari pencapaian partai lain, seperti partai FLN yang mengantongi 28,1%, RCD 2,1%, PNSD 1,6%, dan partai-partai kecil lainnya 13,9%.
Pada pemilu nasional putaran pertama tanggal 26 Desember 1991, FIS kembali mendapatkan kemenangan mutlak dengan mendapatkan 47,3% suara, memenangkan 188 dari 232 kursi parlemen pusat yang diperebutkan di ballot pertama (dari total 429 kursi), sedangkan partai-partai lain seperti FLN hanya mendapatkan 15 kursi, dan FFS 25 kursi. Dengan hasil tersebut, FIS dipastikan akan memperoleh posisi yang sangat kuat kursi pemerintahan dan memiliki kontrol besar dengan kekuatan politik yang didapatkan dari pemilu.
Kemenangan FIS di pemilu putaran pertama merupakan sebuah momen yang memecah peta kekuatan politik Aljazair menjadi 3. Pertama adalah kelompok islam radikal dibawah FIS yang memenangkan pemilu dan tidak terelakan lagi akan menduduki kursi kekuasaan, didominasi oleh generasi muda muslim Aljazair. Kedua adalah kelompok pro demokrasi dibawah partai-partai kecil yang tidak mendapatkan porsi kekuasaan sedikitpun. Ketiga kelompok sosialis di bawah FLN yang memiliki porsi kekuasaan yang terbatas, didominasi oleh generasi tua dan militer Aljazair yang dulunya memegang kekuasaan.
Bagi kaum pro demokrasi, kemenangan FIS menutup kesempatan demokratisasi yang digagas oleh Bendjedid untuk berhasil dengan mulus di masa depan. FIS secara terbuka melalui ketuanya, Abassi Madani, menyatakan tidak sama sekali memiliki niatan untuk mendukung demokrasi dan berniat untuk mengaplikasikan hukum syariah islam di Aljazair. Salah satu contohnya adalah pernyataan Ali Belhadj, wakil presiden dari FIS, pada bulan Oktober 1989 sebagai berikut:
“Here is no democracy because the only source of power is Allah through the Koran, and not the people. If the people vote against the law of God, this is nothing other than blasphemy. In this case, it is necessary to kill the non-believers for the good reason that they wish to substitute their authority for that of God.”
Bagi kaum sosialis yang sebenarnya adalah mantan penguasa Aljazair dibawah FLN, kemenangan FIS menutup kesempatan mereka untuk memperoleh kembali kekuasaan di Aljazair. Apabila kelompok pro demokrasi memenangkan pemilu, setidaknya kebebasan berpendapat dan berekspresi akan terjamin di masa depan. Sehingga FLN masih memiliki kesempatan untuk menyebarkan ide-ide sosialis yang dimilikinya untuk mendapatkan lagi dukungan dari masyarakat. Hal ini tidak dapat terjadi apabila kelompok islam radikal mengaplikasikan nilai syariah islam sebagai satu-satunya nilai yang diakui di Aljazair.
Pengaruh persaingan politik terhadap pembatalan pemilu 1991
Meskipun Bendjedid membubarkan parlemen yang dikuasai oleh FLN, para pejabat-pejabat FLN masih memiliki hubungan yang kuat dengan militer Aljazair. Kita dapat memahami melalui konteks historis bahwa FLN dulunya adalah kelompok militer. Hubungan antara politisi dan militer yang dimiliki oleh FLN tidak lah lazim. Para politisi FLN secara esensi pada masa lalu adalah pejabat militer Aljazair. Sehingga dapat dipahami bahwa hubungan kuat antara FLN dan militer tidaklah hilang pasca berakhirnya kekuasaan FLN. Baik FIS sebagai pemenang pemilu, maupun kelompok pro demokrasi tidak memiliki kontrol besar terhadap militer sebagaimana yang dimiliki oleh FLN.
Kemenangan FIS memberikan insentif yang sangat kuat kepada FLN untuk menggerakan militer membatalkan hasil pemilu 1991. Pembatalan hasil pemilu 1991 tidak hanya menguntungkan FLN, tapi juga menguntungkan pihak pro demokrasi. Sehingga, meskipun usaha pembatalan hasil pemilu ini sebenarnya merupakan usaha FLN untuk memperoleh kepentingan kelompok mereka, FLN memiliki justifikasi yang kuat untuk melakukan pembatalan tersebut dengan menggunakan tameng alasan demokratisasi, bahwa kudeta dilakukan untuk mencegah terjadinya amandemen konstitusi Aljazair menjadi islamis/constitutional coup d'etat.
Dari perspektif militer sendiri, sudah menjadi kultur politik bahwa militer adalah aktor kunci di dalam penjaga kestabilian politik Aljazair. Para pemimpin militer Aljazair terdiri dari jenderal-jenderal konservatif yang setia kepada konstitusi di masa FLN4.
Kemenangan FIS di putaran pertama pemilu membuat situasi perpolitikan Aljazair memanas. Berbagai rumor menyatakan bahwa presiden Bendjedid melakukan kompromi politik dengan FIS terkait kemenagna FIS di pemilu putaran pertama. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari partai-partai lain seperti FLN dan FSS. Mereka tidak menghendaki proses demokrasi teracuni oleh sikap kompromistis dan kontraktualis yang tampaknya akan diambil Presiden Bendjedid kepada FIS. Di dalam situasi tersebut, kudeta presiden Bendjadid oleh militer tampak seperti bentuk tanggungjawabnya sebagai penjaga proses demokrasi5.
Faktor Eksternal: Pengaruh Amerika Serikat dan Perancis di dalam pemilu 1991 Aljazair
Kelompok kami membagi penjelasan pengaruh Amerika Serikat dan Perancis kepada politik dalam negeri Aljazair kedalam 2 bagian. Pertama adalah pengaruh Perang Teluk I terhadap politik luar negeri negara barat dan relevansinya dengan Aljazair. Kedua adalah bentuk konkrit kebijakan luar negeri negara barat yang berkaitan langsung terhadap politik dalam negeri Aljazair.
Pengaruh Perang Teluk I terhadap politik luar negeri negara barat dan relevansinya dengan Aljazair
Pelaksanaan pemilu 1991 bertepatan dengan pecahnya Perang Teluk I, dimana NATO dibawah Amerika Serikat berperang melawan Iraq merespon tindakan Saddam Hussein menginvasi Kuwait.
Perang teluk I memiliki dampak terhadap perspektif negara barat dalam memandang islam. Interpretasi barat terhadap Islam lebih diasosiasikan ke arah yang negatif, seperti bagaimana islam kental dengan dictatorship dan bertolak belakang dengan nilai demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Seperti yang umumnya diketahui, sejak runtuhnya komunisme di bawah Uni Sovyet pada tahun 1990, politik luar negeri barat pada tahun 1990an mendapatkan energi yang sangat besar untuk menyebarkan demokratisasi di berbagai negara di dunia. Islamophobia yang dimiliki negara barat cendering terjadi karena ketakutan negara barat bahwa nilai-nilai Islam dapat mengganggu proses demokratisasi terutama di negara-negara berkembang. Hal ini terjadi karena munculnya presedens negara-negara Islam yang tidak mengakomodasi demokrasi dan Iraq pada saat itu merupakan contoh kasus yang memiliki pengaruh yang kuat berkat Perang teluk I. selain itu, Perang Teluk I juga memunculkan paham anti barat dari kalangan islam radikal di seluruh dunia.
Sehingga dapat dipahami bahwa kemenangan FIS di Afrika yang merupakan tanda-tanda kemunculan gelombang islam radikal di dalam perpolitikan Aljazair sangat mengkhawatirkan negara barat. Hal ini membuat Perancis dan Amerika Serikat memiliki kepentingan langsung untuk mencegah terjadinya pergantian kekuasaan di Aljazair ke tangan FIS.
Bagi Perancis, Aljazair merupakan negara bekas koloni yang menjadi aset kerjasama ekonomi yang potensial. Sejak kehilangan Aljazair, Perancis sangat gencar melakukan hubungan kerjasama dan rekonsiliasi dengan pemerintah Aljazair.. Bagi Amerika Serikat, Aljazair merupakan negara penting untuk menyebarkan paham demokrasi terutama di kawasan Timur Tengah. Namun sesungguhnya kepentingan utama dari kedua negara adalah minyak. Aljazair merupakan negara penghasil minyak yang potensial. Naiknya kelompok islam radikal yang dalam kekuasaan politik Aljazair dapat mengganggu kepentingan ekonomi kedua negara karena kelompok ini memiliki reputasi anti barat. Sehingga kedua negara mendukung ide pembatalan hasil pemilu 1991 meskipun proses tersebut bertolak belakang dengan demokrasi6.
Bentuk konkrit kebijakan luar negeri negara barat yang berkaitan langsung terhadap politik dalam negeri Aljazair
Keterlibatan pihak asing secara konkrit ke dalam politik dalam negeri Aljazair masih dapat diperdebatkan. Karena kedua negara tersebut tidak memberikan tindakan konkrit yang menunjukkan adanya gerakan intervensi ke Aljazair.
Namun pernyataan-pernyataan politik yang diberikan kedua negara di dunia internasional memiliki pengaruh sebagai insentif untuk FLN melaksanakan pembatalan pemilu 1991. Contohnya adalah pernyataan US Assistant Secretary of State, Edward Djerejian, bahwa kekuasaan FIS akan mengganggu upaya demokratisasi di Aljazair dan ia mengungkapkan FIS sebagai “One man, one vote, one time”7.
Sehingga secara tidak langsung, FLN mendapatkan kepercayaan diri bahwa usaha kudeta dan pembatalan pemilu yang direncanakan tidak aklan mengalami penolakan dari masyarakat internasional. Dan memang peristiwa pembatalan hasil pemilu 1991 tidak sama sekali mengundang reaksi baik positif maupun negatif dari negara barat, Perancis dan Amerika Serikat tidak memberikan komentar resmi sama sekali pasca peristiwa tersebut.
Dampak Peristiwa Pembatalan Hasil Pemilu 1991 Terhadap Penciptaan Konflik Bersenjata
Kelompok kami melihat faktor yang berkontribusi ke dalam penciptaan konflik bersenjata Aljazair dari peristiwa pembatalan hasil pemilu 1991 adalah adanya proses demonisasi pemerintah dari pendukung fanatik FIS.
FIS memiliki kelompok pendukung fanatik yang setia terhadap ideologi dan cita-cita menggunakan syariah islam di Aljazair. Partai ini dipimpin oleh Abassi Madani dan Ali Belhadj. Mereka berdua membasiskan dukungan FIS dari masyarakat golongan bawah, terutama orang-orang miskin, para ulama, cendekiawan muslim dari universitas-universitas utama Aljazair, dan pengusaha kelas menengah. Madani sendiri merupakan perwakilan dari kelompok cendekiawan muslim, sedangkan Belhadj mewakili kelompok ulama. Sedangkan orang ketiga di FIS yang mewakili kelompok pengusaha adalah seorang insinyur perminyakan bernama Abdulqadir Hachbani. Sebelum FIS secara formal terbentuk, gerakan FIS merupakan gerakan bawah tanah yang gencar memberikan ceramah kepada masyarakat mengenai cita-cita terbentuknya negara islam di berbagai sekolah dan kampus8.
Ketika krisis 1987 terjadi, kelompok ini sudah memiliki basis pendukung yang kuat dan turut berpartisipasi di dalam kerusuhan-kerusuhan di berbagai kota. Popularitas FIS di masa krisis ini sangat tinggi, karena elemen islam yang diusung FIS merupakan satu-satunya elemen yang paling vokal dan gencar membantu masyarakat dalam melaksanakan protes dan demonstrasi kepada masyarakat.
Fanatisme dari anggota-anggota FIS dibentuk dari fanatisme agama yang diperkuat oleh kepercayaan anggotanya terhadap nilai-nilai interpretasi islam oleh FIS. FIS mengajarkan kepada anggotanya konsep Jihad sebagai bentuk perjuangan suci masyarakat melawan pemerintah kafir yang tidak adil. Melalui konsep ini FIS menanamkan sebuah tujuan kepada anggotanya bahwa untuk mengakhiri penderitaan masyarakat Aljazair mereka perlu mendirikan negara yang mengadopsi syariah islam dan cara apa pun dapat dibenarkan demi tujuan suci ini. Sehingga, dalam usaha mendapatkan popularitas di Aljazair, FIS melakukan demonisasi kepada pemerintah FLN.
Konflik bersenjata terjadi karena respon keras pendukung FIS ketika kemenangan mereka di pemilu putaran pertama dibatalkan oleh militer. Pihak militer, melalui presiden Mohammed Boudiaf, tidak hanya berhenti sampai disitu, tetapi juga melarang FIS sebagai organisasi politik yang sah dan menangkap para anggota FIS. Pihak militer menangkap lebih dari 5000 anggota menurut versi mereka, sedangkan FIS sendiri mengklaim militer menangkap lebih dari 30.000 anggota mereka9.
Bagi anggota FIS yang selamat dari penangkapan tersebut, imej pemerintah dan militer sebagai evil actor yang diasosiasikan sebagai setan dan kafir semakin kuat. Dengan latar belakang militansi dan loyalitas mereka kepada partai, para sisa pendukung ini menyatakan perang terbuka kepada pemerintah dan konflik bersenjata Aljazair dimulai sejak masa ini.
Yang menarik untuk diamati, para bekas pendukung FIS membentuk organisasi-organisasi kecil baru yang bergerak di bidang militer, hal yang sama persis terjadi dengan pembentukan FLN di masa kolonialisasi Perancis. Contoh-contoh organisasi yang belakangan dilabel sebagai teroris oleh dunia internasional antara lain adalah AIS dan GIA. Para pendukung FIS menggunakan pola dan cara yang sama dengan usaha FLN di masa lalu untuk menumbangkan rezim pemerintah sekarang.
Pembentukan AIS dan GIA memulai intensitas konflik-konflik bersenjata dalam skala kecil, terutama di daerah pegunungan di Aljazair Utara. Namun konflik bersenjata dalam skala besar yang melibatkan pembantaian massal dan perang sipil dimulai ketika keadaan keamanan nasional memanas setelah presiden Boudiaf meninggal pada tanggal 29 Juni 1992 akibat serangan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Militer merespon hal tersebut dengan melaksanakan operasi militer secara besar-besaran dan konflik bersenjata di Aljazair pun dimulai sejak masa ini sampai satu dekade ke depan10.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
B.
BIBLIOGRAFI
Studi Pustaka
A Husaini & N. Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Gema Insani, 2002.
A. S. M.. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam, Gema Insani, 2000.
B. MacQueen, Political Culture and Conflict Resolution in the Arab World, Melbourne University Press, Victoria, 2009.
C. Bonora & Waisman, France and the Algerian Conflict: Issues in Democracy and Political Stability, Ashgate Publishing Limited, Aldershot, 2003.
F. Volpi, Islam and Democracy, Pluto Press, London, 2003.
J Ruedy. Modern Algeria: The Origins and Development of a Nation, Indiana University Press, Bloomington, 2005.
L. Martinez, The Algerian Civil War 1990-1998, C. Hurst & Co., London, 1998.
M.R. Lowi, Oil Wealth and the Poverty of Politics, Cambridge University Press, 2009.
Artikel Internet
Republika Online, Islam di Aljazair Gencar Mempromosikan Sufisme (online), 13 Januari 2010,
Wikipedia The Free Encyclopedia, Algerian Civil War (online),
Wikipedia The Free Encyclopedia, Timeline of the Algerian Civil War (online),

No comments:
Post a Comment