Lilik Prasaja (09/288727/SP/23761)
Tesis yang diajukan adalah kembalinya bentuk kepartaian yang terkartelisasi di Indonesia. Hal ini diselidiki sejak Pemilu 1999 dan kemudian dilanjutkan di Pemilu 2004 sehingga memperoleh pembuktian tesis di atas. Partai politik sebelum pemilu legislatif tampak sangat menonjolkan ideologi mereka yang bahkan terlihat semakin lebar. Namun, ketika kabinet dibentuk dan struktur kepemimpinan di DPR diisi, perbedaan ideologi dibuang dan jabatan didistribusikan di antara parpol.
Pada proses sebelum pemilu dijelaskan bahwa terjadi pertarungan ideologi antarpartai. Bahkan terdapat wacana perubahan UUD 1945 pasal 29 tentang Keagamaan yang intinya mencoba menegaskan kembali kehadiran agama dalam negara dan politik. Hal ini tidak lepas dari kepentingan partai untuk meraup suara dari basis massa masing-masing. Parpol-parpol bersaing untuk mendapatkan kursi di parlemen dengan mempertajam perbedaan di antara mereka. Namun, kecenderungan yang terjadi adalah pasca pemilu legislatif jejak-jejak persaingan itu tidak ada dan oposisi memudar. Parpol-parpol mengabaikan prinsip-prinsip partai dan mulai bertindak demi kepentingan bersama dalam kartel.
Pilpres 2004 putaran pertama mempertemukan pasangan calon dari koalisi-koalisi partai antar-ideologi yang terlihat “sehat” dan bersaing. Namun pada putaran kedua, parpol-parpol yang calonnya tidak ikut malah membentuk koalisi dengan parpol yang secara ideologis berlawanan dan bentuk koalisi kemenangan minimal. Koalisi Kebangsaan mengusung Megawati-Hasyim berkomitmen pertahankan koalisi hingga di parlemen dan pemerintahan. Tetapi ketika koalisi tersebut kalah dari Koalisi Kerakyatan SBY-JK, mereka bubar dan masuk ke kabinet. Pemerintah tahu bahwa harus meredam tekanan politik dari partai-partai “oposisi” dengan mengangkat kadernya di kabinet.
Tinggal PDIP yang menjadi oposisi di parlemen, namun malah akhirnya membuat langkah-langkah kompromistis. Parpol-parpol di parlemen kemudian bersepakat untuk menjatah posisi ketua-wakil ketua DPR dan komisi DPR berdasarkan perolehan kursi. Posisi-posisi tersebut dapat mendatangkan keuntungan politik dan ekonomi bagi parpol. Kenyataan tersebut, kabinet yang berusaha mencakup semua parpol dan kompromi di DPR serta pudarnya oposisi menegaskan telah terjadi kartelisasi politik di Indonesia.
Pertanyaan:
1. Jika kartelisasi politik dianggap wajar di negara demokrasi multipartai baru, bagaimanakah parameter untuk menyebut hal tersebut positif atau negatif? Apakah itu merupakan politik yang sehat? Jika tidak, sampai taraf bagaimanakah bisa disebut sehat atau tidak?
2. Kencenderungan yang terjadi pasca pemilu 2009 adalah kartel politik semakin menguat. Peran media massa yang mengekspos hal ini mengakibatkan rakyat tahu dan mulai jenuh dengan sistem ini. Adakah kecenderungan parpol-parpol yang ada untuk meninggalkan praktik kartel? Bagaimana sikap pemerintah memandang kejenuhan ini sebagai ancaman terhadap Pemilu dan proses demokratisasi?

No comments:
Post a Comment