Friday, February 25, 2011

SIKAP PEMERINTAH TURKI DAN IRAK TERHADAP ISU SELF-DETERMINATION ETNIS KURDI

Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang Masalah
Etnis Kurdi merupakan etnis minoritas yang masih tergolong pada rumpun etnis Iran (Persia) yang mayoritas memeluk Islam dan merupakan salah satu etnis asli di Timur Tengah. Etnis Kurdi kebanyakan mendiami suatu wilayah yang disebut Kurdistan. Wilayah ini berbukit-bukit dan mencakup wilayah setidaknya negara Turki, Irak, Iran, Suriah dan Armenia. Meski hidup di wilayah suatu negara, Etnis Kurdi memiliki keinginan yang kuat untuk memisahkan diri dan membentuk suatu negara Kurdistan bagi Etnis Kurdi sendiri.
Bagi negara  yang memiliki wilayah Kurdi memberikan suatu masalah tersendiri terkait dengan sikap ingin merdeka mereka. Padahal, keinginan untuk merdeka tidak akan timbul tanpa ada faktor pendorong. Faktor ini secara garis besar tidak mungkin terlepas dari sikap negara-negara yang “menampung” etnis Kurdi tersebut. Sikap dua negara yang paling banyak menampung etnis Kurdi, yaitu Turki dan Irak menjadi pemicu  bagi keinginan untuk merdeka.
Secara kasar keinginan ini tidak akan timbul jika pemerintah masing-masing negara memperlakukan Kurdi secara adil dan tidak diskriminatif. Kurdi selama puluhan tahun menjadi etnis terbuang di bukit-bukit yang mereka anggap sebagai tanah air kuno masyarakat Kurdi. Populasi Kurdi yang mencapai 20 juta orang dan mendiami wilayah Kurdistan cukup besar dibandingkan negara Timur Tengah lain. Namun, tetap saja Kurdi selalu tampak menjadi bangsa tanpa negara. Kurun waktu yang dibahas adalah
Hal yang menarik di sini adalah perjuangan etnis Kurdi dari masa ke masa untuk memiliki wilayah sendiri yang otonom di tengah negara-negara yang secara jelas menyampaikan keberatan atas otonomi tersebut. Kurdi menginginkan otonomi sepenuhnya atas wilayah negara-negara di sekitarnya yang masuk ke dalam wilayah Kurdistan, di samping gagasan untuk membentuk negara Kurdistan. Kurun waktu yang dibahas adalah pasca-Perang Dunia I hingga saat ini.

Pemilu 2004: Memudarnya Oposisi, Kembalinya Kartel

Lilik Prasaja (09/288727/SP/23761)



Tesis yang diajukan adalah kembalinya bentuk kepartaian yang terkartelisasi di Indonesia. Hal ini diselidiki sejak Pemilu 1999 dan kemudian dilanjutkan di Pemilu 2004 sehingga memperoleh pembuktian tesis di atas. Partai politik sebelum pemilu legislatif tampak sangat menonjolkan ideologi mereka yang bahkan terlihat semakin lebar. Namun, ketika kabinet dibentuk dan struktur kepemimpinan di DPR diisi, perbedaan ideologi dibuang dan jabatan didistribusikan di antara parpol.
Pada proses sebelum pemilu dijelaskan bahwa terjadi pertarungan ideologi antarpartai. Bahkan terdapat wacana perubahan UUD 1945 pasal 29 tentang Keagamaan yang intinya mencoba menegaskan kembali kehadiran agama dalam negara dan politik. Hal ini tidak lepas dari kepentingan partai untuk meraup suara dari basis massa masing-masing. Parpol-parpol bersaing untuk mendapatkan kursi di parlemen dengan mempertajam perbedaan di antara mereka. Namun, kecenderungan yang terjadi adalah pasca pemilu legislatif jejak-jejak persaingan itu tidak ada dan oposisi memudar. Parpol-parpol mengabaikan prinsip-prinsip partai dan mulai bertindak demi kepentingan bersama dalam kartel.
Pilpres 2004 putaran pertama mempertemukan pasangan calon dari koalisi-koalisi partai antar-ideologi yang terlihat “sehat” dan bersaing. Namun pada putaran kedua, parpol-parpol yang calonnya tidak ikut malah membentuk koalisi dengan parpol yang secara ideologis berlawanan dan bentuk koalisi kemenangan minimal. Koalisi Kebangsaan mengusung Megawati-Hasyim berkomitmen pertahankan koalisi hingga di parlemen dan pemerintahan. Tetapi ketika koalisi tersebut kalah dari Koalisi Kerakyatan SBY-JK, mereka bubar dan masuk ke kabinet. Pemerintah tahu bahwa harus meredam tekanan politik dari partai-partai “oposisi” dengan mengangkat kadernya di kabinet.
Tinggal PDIP yang menjadi oposisi di parlemen, namun malah akhirnya membuat langkah-langkah kompromistis. Parpol-parpol di parlemen kemudian bersepakat untuk menjatah posisi ketua-wakil ketua DPR dan komisi DPR berdasarkan perolehan kursi. Posisi-posisi tersebut dapat mendatangkan keuntungan politik dan ekonomi bagi parpol. Kenyataan tersebut, kabinet yang berusaha mencakup semua parpol dan kompromi di DPR serta pudarnya oposisi menegaskan telah terjadi kartelisasi politik di Indonesia.

Pertanyaan:
1.      Jika kartelisasi politik dianggap wajar di negara demokrasi multipartai baru, bagaimanakah parameter untuk menyebut hal tersebut positif atau negatif? Apakah itu merupakan politik yang sehat? Jika tidak, sampai taraf bagaimanakah bisa disebut sehat atau tidak?
2.      Kencenderungan yang terjadi pasca pemilu 2009 adalah kartel politik semakin menguat. Peran media massa yang mengekspos hal ini mengakibatkan rakyat tahu dan mulai jenuh dengan sistem ini. Adakah kecenderungan parpol-parpol yang ada untuk meninggalkan praktik kartel? Bagaimana sikap pemerintah memandang kejenuhan ini sebagai ancaman terhadap Pemilu dan proses demokratisasi?

Ack d'Avenged

My photo
Wates, Kulon Progo, DIY, Indonesia
Academic people but love practical things! let's sharing knowledge guys! from Indonesia with rocks!!! follow me on twitter @lilikprasaja